Umar Badarsyah's Blog

A Yurist Learn To Be

Tembakau Tidak Selalu Rokok: Sebuah Alternatif


Tembakau Tidak Selalu Rokok: Sebuah Alternatif
23 Februari 2009
Umar Badarsyah*
*Penulis adalah peneliti di Institute for Sustainable Reform (Insure)
Editor: Ita Prihantika dan Kaukabus Syarqiyah

Pengantar
Jika sekiranya Pemilu tidak jatuh di tahun 2009, maka tahun ini barangkali menjadi tahun pertarungan wacana mengenai rokok, atau sebaliknya Pemilu malah menjadi ajang yang tepat untuk kembali melancarkan kampanye anti rokok. Para kontestan Pemilu 2009 bisa digiring untuk menunjukkan keberpihakannya dalam masalah rokok.

Ada beberapa peristiwa domestik yang membuka peluang tahun ini sebagai tahun penting dalam perjalanan panjang memerangi rokok. Pertama, masuknya RUU Pengendalian Tembakau dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009. Kedua, fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai rokok. Ketiga, pengajuan judicial review aturan mengenai iklan rokok oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Semangat Anti Rokok

Setelah lebih dari tiga tahun terkatung-katung tanggal 2 Desember 2008 DPR RI resmi memasukkan RUU Pengendalian Tembakau ke dalam Prolegnas 2009. RUU ini sendiri sudah mulai disusun sejak tahun 2004 beberapa saat setelah Indonesia gagal meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau World Trade Organization (Framework Convention of Tobaccoo Control/FCTC).[1] Berturut-turut tahun 2006 dan 2007 Draft RUU ini gagal masuk prolegnas meskipun mendapat cukup dukungan anggota dewan melebihi syarat minimal 13 tandatangan[2] anggota dewan lintas partai menandatangani di dua tahun tersebut. Padahal RUU ini memiliki semangat pengendalian tembakau yang tidak anti industri tembakau itu sendiri, sayangnya perjuangan di masa lalu selalu menemui kegagalan. Kini masuknya RUU ini ke dalam prolegnas menjadi ajang lanjutan untuk mencapai titik yang lebih baik dalam upaya mengendalikan dampak rokok.

Peristiwa kedua adalah hasil sidang Majelis Ulama Indonesia dalam muktamarnya di Padang Panjang Januari 2009 lalu mengeluarkan fatwa haram merokok bagi Ibu-ibu hamil, anak-anak dan di tempat-tempat umum. Fatwa ini tidak setegas yang diharapkan oleh kelompok pro pendukung anti rokok tapi keberadaannya tetap menjadi hal yang positif. Fatwa ini dapat menjadi landasan moral-religi dalam upaya kampanye anti rokok. Meski demikian, penentangan terhadap fatwa rokok ini sangat kuat, terutama di daerah-daerah penghasil tembakau dan pusat-pusat industri rokok. Hanya saja penentangan ini memiliki misteri sendiri. Di satu sisi sulit menerima sebagian alasan penentangan atas fatwa yang berdasar pada insensitivitas MUI terhadap dampak sosial ekonomi bagi para petani dan buruh tembakau-rokok, di sisi lain MUI sendiri terlihat gagal dalam mengkomunikasikan isi materi fatwa haram rokok ini kepada publik. Entah apakah ada tangan tersembunyi yang menghalangi publik untuk mengetahui pertimbangan fatwa, serta dalil-dalil naqli dan aqli yang melandasinya, atau murni inefektivitas pola komunikasi yang dilakukan oleh MUI. Ke depan baik MUI maupun elemen-elemen lain yang anti rokok perlu mengkomunikasikan fatwa ini lebih baik kepada masyarakat agar masyarakat memahami lebih baik.

Peristiwa ketiga yaitu pengajuan judicial review Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) terhadap beberapa pasal dari UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama adalah melihat upaya ini sebagai perlindungan hak anak dari bahaya rokok yang dapat membahayakan hidup melalui jalur konstitusional, di mana hak untuk hidup dijamin dalam pasal 28 A UUD 1945. Keberadaan MK dan constitusional claimant yang ditawarkan oleh UUD 1945 memungkinkan bagi warga negara untuk mendapatkan perlindungan atas hak konstitusionalnya yang dilanggar oleh Undang-Undang. Dalam hal ini Komnas PA menilai pasal yang membolehkan rokok beriklan telah meningkatkan jumlah perokok anak, yang kemudian membahayakan keselamatan mereka. Meski barangkali sulit untuk menemukan keterkaitan langsung antara masih dibolehkannya iklan rokok sebagai ancaman terhadap hak untuk hidup anak, upaya yang dilakukan perlu dilihat sebagai potensi dalam sisi lain. Sisi yang dimaksud adalah membangkitkan kembali aktivisme melawan rokok. Elemen-elemen perlindungan anak dapat menjadi lokomotif yang efektif dalam memerangi rokok. Efektivitas gerbong aktivis perlindungan anak terbukti saat mendorong lahirnya UU Pornografi. Jika sekiranya elemen-elemen lain berkonsolidasi dan menemukan pola terbaik untuk mendesak disahkannya RUU Pengendalian Dampak Tembakau untuk Rokok, bukan tidak mungkin dua dari penyakit masyarakat selain miras dan narkoba bisa diperangi lebih efektif.

Analisa: Alternatif Industri Tembakau

Masuknya RUU Pengendalian Dampak Rokok, Fatwa MUI, dan aktifitas Komas PA menjadi kanal, penguat sosial, dan potensi yang membangkitkan aktivisme anti rokok di tahun 2009 ini menumbuhkan asa untuk menjadikan bangsa ini menjadi lebih produktif.

Meski harapan untuk menekan konsumsi rokok sedemikian besar namun terdapat permasalahan yang juga perlu mendapatkan perhatian. Permasalahan itu adalah bagaimana menangani para petani tembakau dan buruh perusahaan rokok yang akan kehilangan mata pencaharian. Meskipun jumlah tenga kerja disektor ini secara nasional hanya 3%, namun akan signifikan jika jika dilihat dalam konteks lokal daerah penghasil tembakau.

Alternatif yang diajukan dalam tulisan ini adalah konversi sektor tembakau. Ada dua upaya konversi yang dapat dilakukan, yaitu konversi tanaman tembakau kepada komoditas yang lebih kompetitif dan menguntungkan petani, dan konversi kegunaan tembakau sebagai pemasok industri rokok kepada industri lain yang memiliki potensi yang lebih baik. Sebelum mengurai keduanya, penting untuk melihat faktor-faktor yang mendukung alasan mengapa konversi ini perlu dilakukan.

Berdasarkan sejumlah penelitian terdapat beberapa faktor yang mendorong dilakukannya konversi, diantaranya sebuah penelitian gabungan Tobacco Control Support Center dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSC-IAKMI) bersama Lembaga Demograsi Fakultas Ekonomi Indonesia (LDFMI) menyatakan bahwa pendapatan buruh dan petani tembakau jauh di bawah upah minimum wilayah domisili mereka. Hal ini berbanding terbalik dengan perkembangan industri rokok itu sendiri. Penelitian yang dilakukan pada pertengahan 2008 tersebut di tiga wilayah penghasil tembakau utama di Indonesia, yakni Kabupaten Kendal, Bojonegoro dan Lombok Timur menunjukkan fakta rendahnya pendapatan itu. Berikut perbandingannya dalam sajian table: *

Tabel Perbandingan Upah

Sumber: diolah kembali dari penelitian gabungan Tobacco Control Support Center dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSC-IAKMI) bersama Lembaga Demograsi Fakultas Ekonomi Indonesia (LDFMI)

Untuk perhitungan upah petani tembakau jika diperinci dalam sekali masa tanam, petani memperoleh pendapatan Rp 12.448.000. Sedangkan modal yang harus dikeluarkan Rp. 8.386.200. Dengan demikian, petani hanya memperoleh untung Rp 4.062.800 per sekali masa tanam.[3]

Hasil penelitian pendapatan buruh rokok ini menjadi lampu hijau bagi hadirnya industri tembakau non rokok sejauh bisa memberikan pendapatan yang lebih kompetitif bagi mereka. Ini diperkuat dengan penelitian Warner mengenai buruh kasar seputar industri tembakau untuk rokok. Buruh kasar menurut Warner umumnya mudah diserap industri lain karena sifatnya tidak membutuhkan kemampuan spesifik tertentu.[4] Tantangannya adalah menyediakan industri alternatif berbasis tembakau yang memungkinkan menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.

Berkenaan dengan alternatif industri berbasis tembakau terdapat penelitian yang bisa membuka peluang bagi industri farmasi. Tim peneliti LIPI dipimpin Dr Arief Budi Witarto yang mengepalai Kelompok Penelitian Rekayasa Protein bekerja sama dengan Fraunhofer Institute for Molecular Biotechnology and Applied Ecology yang berpusat di Schmallenberg, Jerman, mengembangkan penggunaan tembakau sebagai indung pengembangbiakan protein obat (2005).[5] Penelitian ini dikenal dengan nama tobacco molecular farming. Dr. Stefan Schillberg dari institut tersebut mengatakan bahwa salah satu enzym yang dihasilkan dari teknik ini sangat berguna bagi penyembuhan penyakit gaucher, penyakit berbahaya yang menyerang saraf, liver dan tulang baik pria maupun wanita. Pengembangan protein dengan tembakau juga bisa menghasilkan obat bagi penyakit hepatitis B.

Prospek ekonomi dari tobacco molecular farming ini juga cukup menjanjikan. Biaya produksi protein melalui teknik ini hanya sebesar 2-10% dari biaya fermentasi protein melalui sistem industri farmasi konvensional. Adapun keuntungan ekonomis yang didapatnya menurut Brian Marshal[6] bisa mencapai $ 175.000/acre, dan dipercaya tujuh hingga delapan tahun ke depan industri ini menawarkan keuntungan global sebesar $ 50 miliar dollar. Jumlah ini juga pastinya menggiurkan bagi para pengusaha rokok kelas kakap untuk beralih investasi di tengah himpitan kampanye global atas rokok. Dengan kekuatan modal yang mereka miliki alih investasi bukan sesuatu yang musykil.

Penelitian lain menunjukkan kontribusi industri tembakau terhadap PDB mengalami tren penurunan. FEUI dalam Research Day 2008-nya menunjukkan data kontribusi industri rokok, tembakau, dan cengkeh tahun 1995, 2000, dan 2005 menurun (2,17%, 1,73% dan 1,64%). Kontribusi industri tersebut pada pembentukan upah di Indonesia ternyata juga memiliki kecenderungan menurun (0,92%, 0,67% dan 0,71%). Di sisi lain industri rokok memiliki efek samping yang besar terhadap perekonomian, terutama efeknya terhadap pola konsumsi masyarakat miskin. Terdapat 37 juta perokok dimana 4 juta diantaranya adalah orang miskin dan 8 juta-nya lagi nyaris miskin. Dari survey tahun 2005 ditemukan bahwa uang yang dibelanjakan oleh tiap perokok perbulannya mencapai 114 ribu rupiah, dan rokok menempati urutan kedua dalam daftar kebutuhan pokok setelah beras bagi para perokok termiskin. Penelitian FEUI itu kemudian menyimpulkan bahwa pola konsumsi perokok termiskin sangat dipengaruhi oleh harga rokok dengan elastisitas harga terhadap permintaan mencapai -1,696 dibandingkan dengan perokok terkaya yang hanya -0,409. Kenaikan cukai rokok sebesar 10% ditaksir akan meningkatkan penerimaan Negara sebesar 6,7% – 9% dari cukai rokok dan akan menurunkan konsumsi rokok sebesar 3,5%-6,1%. Kenaikan ini akan membantu memaksa perokok termiskin untuk mengubah budaya konsumsinya terhadap rokok. Hasil penelitian juga menunjukkan 6 sektor akan terimbas negatif dari kenaikan cukai rokok namun 60 sektor lainnya juga mengalami efek yang positif.

Penutup

Pelbagai hasil penelitian di atas, bersama dengan banyak penelitian lain atas dampak ekonomi, dampak sosial, serta kesehatan dari rokok semestinya menjadi dorongan kuat bagi pemerintah untuk segera melangsungkan proyek konversi tembakau.

Pemerintah dalam hal ini dapat menerapkan beberapa kebijakan seperti kebijakan fiskal, pemodalan dan pendampingan. Kebijakan fiskal dan akses modal bagi upaya konversi tembakau akan mendorong minat petani tembakau untuk melakukan konversi. Salah satu hambatan konversi tembakau adalah tingkat kepercayaan petani terhadap nilai ekonomi yang ditawarkan. Beberapa proyek konversi dinilai gagal karena harga komoditas kurang kompetitif dibanding tembakau. Dengan dukungan modal dan insentif diharapkan nilai kompetitif komoditas lain bisa meningkat. Selain itu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat bisa melakukan pendampingan bagi para petani yang menjalankan konversi untuk menjaga tingkat keberhasilannya.

Bagi industri farmasi dan industri rokok sendiri, kebijakan insentif dan akses modal akan menjadi stimulus yang menarik untuk berinvestasi pada penggunaan tembakau untuk industri non-rokok.

Kini tinggal komitmen pemerintah dan DPR RI saja yang patut untuk ditunggu untuk mewujudkan Indonesia bebas rokok.

[1] Beberapa poin dalam konvensi tersebut antara lain: regulasi pembatasan cukai dan harga, pembatasan iklan dan sponsor rokok, pembatasan kadar tembakau, larangan anak menjadi subjek disekitar industri rokok, serta dukungan ekonomi atas kegiatan alternative selain rokok.

[2] 204 tandatangan dukungan di tahun 2006 dan 224 di tahun 2007.

[3] http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,Nasib-Petani-Tembakau-Tak-Selaju-Industri-Rokok-2917.html

[4] Efektifitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau, Anton Rahmadi, 19 Agustus 2008, http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=2

[5] http://www.molecularfarming.com/tobacco.html

[6] http://www.molecularfarming.com

Tags: kebijakan, ekonomi

December 29, 2009 - Posted by | Hukum, Kebijakan Publik

No comments yet.

Leave a comment